Raden Ajeng Kartini lahir di Mayong, Jepara 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat dan Ngasirah. Dalam tubuhnya mengalir darah biru. Ayahnya konon memiliki garis keturunan dari salah seorang raja Jawa. Kartini dididik dalam lingkungan amtenar yang menjunjung tinggi pendidikan. Kedua pamannya menjabat Bupati Demak dan Pati.
Lingkungan keluarga ini membuat Kartini hidup berkecukupan, tidak sebagaimana yang dirasakan warga pribumi kebanyakan. Namun semua itu berlawanan dengan dirinya. Lingkungan yang sangat fiodolistik justru telah memenjarakannya. Di ruang kamar yang berada dibagian timur Rumah Dinas Bupati Rembang, wanita ini menghabiskan waktunya hingga menemui ajal. Kamar ini telah menjadi penjara bagi pemikirannya. Ketika Kami masuk, banyak sebagian barang milik pribadi Kartini yang masih tersimpan dan terawat dengan baik. Semisal alat pembatik, tempat sirih hingga meja rias. Di tempat tidur ini Kartini melahirkan putra tunggalnya Susalit. Namun 4 hari kemudian, ia menghembuskan napasnya yang terakhir juga ditempat tidur ini.
Di kamar ini juga terpampang lukisan tiga angsa, hasil goresan tangan Kartini. Lukisan ini melambangkan 3 serangkai Kartini Rukmini dan Kardinah. Lukisan ini menunjukkan sisi lain dari kemampuan intelektualnya. Salah satu peninggalan Kartini adalah sekolah yang ia dirikan. Yang terletak di sebelah timur rumah kediamannya. Sekolah ini didirikan setelah ia mendapat ijin dari suaminya. Karena kodratnya sebagai wanita, Kartini gagal mengeyam pendidikan tinggi. Usia 12 tahun, ia harus berhenti sekolah karena sudah harus dipingit.
Setelah menikah tahun 1903, ia juga gagal melanjutkan study menjadi guru di Betawi. Karena jasanya yang besar, pada tanggal 2 Mei 1964, melalui Keputusan Presiden Pemerintah menganugerahi Kartini gelar Pahlawan Kemerdekaan dan menetapkan hari kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai hari besar. Namun sosok Kartini belakangan dipersoalkan.
Kartini dinilai tidak pantas disejajarkan dengan pahlawan wanita yang lain. Ia adalah orang Belanda yang diam melihat rakyatnya ditindas. Kartini berjuang hanya untuk Jepara dan Rembang. Panggil Aku Kartini 105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini adalah peninggalan yang tidak ternilai. Surat-surat ini tahun 1911 dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda. Dalam surat-suratnya, Kartini menyerang fiudalisme yang membelengu rakyatnya saat itu. Ia seolah meminta pertolongan dari luar untuk membebaskan kaumnya dari budaya Jawa yang saat itu melarang wanita bersekolah.
April 2008
Lingkungan keluarga ini membuat Kartini hidup berkecukupan, tidak sebagaimana yang dirasakan warga pribumi kebanyakan. Namun semua itu berlawanan dengan dirinya. Lingkungan yang sangat fiodolistik justru telah memenjarakannya. Di ruang kamar yang berada dibagian timur Rumah Dinas Bupati Rembang, wanita ini menghabiskan waktunya hingga menemui ajal. Kamar ini telah menjadi penjara bagi pemikirannya. Ketika Kami masuk, banyak sebagian barang milik pribadi Kartini yang masih tersimpan dan terawat dengan baik. Semisal alat pembatik, tempat sirih hingga meja rias. Di tempat tidur ini Kartini melahirkan putra tunggalnya Susalit. Namun 4 hari kemudian, ia menghembuskan napasnya yang terakhir juga ditempat tidur ini.
Di kamar ini juga terpampang lukisan tiga angsa, hasil goresan tangan Kartini. Lukisan ini melambangkan 3 serangkai Kartini Rukmini dan Kardinah. Lukisan ini menunjukkan sisi lain dari kemampuan intelektualnya. Salah satu peninggalan Kartini adalah sekolah yang ia dirikan. Yang terletak di sebelah timur rumah kediamannya. Sekolah ini didirikan setelah ia mendapat ijin dari suaminya. Karena kodratnya sebagai wanita, Kartini gagal mengeyam pendidikan tinggi. Usia 12 tahun, ia harus berhenti sekolah karena sudah harus dipingit.
Setelah menikah tahun 1903, ia juga gagal melanjutkan study menjadi guru di Betawi. Karena jasanya yang besar, pada tanggal 2 Mei 1964, melalui Keputusan Presiden Pemerintah menganugerahi Kartini gelar Pahlawan Kemerdekaan dan menetapkan hari kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai hari besar. Namun sosok Kartini belakangan dipersoalkan.
Kartini dinilai tidak pantas disejajarkan dengan pahlawan wanita yang lain. Ia adalah orang Belanda yang diam melihat rakyatnya ditindas. Kartini berjuang hanya untuk Jepara dan Rembang. Panggil Aku Kartini 105 lembar surat-surat yang ditulis Kartini adalah peninggalan yang tidak ternilai. Surat-surat ini tahun 1911 dibukukan oleh JH Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda. Dalam surat-suratnya, Kartini menyerang fiudalisme yang membelengu rakyatnya saat itu. Ia seolah meminta pertolongan dari luar untuk membebaskan kaumnya dari budaya Jawa yang saat itu melarang wanita bersekolah.
April 2008
Posting Komentar